Sabtu, 09 Juli 2011

PAMONG SAKA BAHARI


BANGSA BAHARI

KONSEPSI PEMBANGUNAN KARAKTER
MANUSIA INDONESIA
YANG BERWAWASAN BAHARI
GUNA MENSUKSESKAN
PEMBANGUNAN KELAUTAN


Sabtu, 28 Mei 2005



Ketika Bangsa Bahari Tak Peduli Laut
HARI Kamis (7/4) Achmad Pelo (29), nelayan asal Papela, Rote Timur, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, melaut bersama lima awak kapal layar Titian II di Laut Timor. Akan tetapi, baru saja berlayar satu mil meninggalkan Pulau Pasir menuju Borselan (9/4), datanglah kapal perang Angkatan Laut Australia. Mereka ditangkap karena dituduh memasuki perairan zona ekonomi eksklusif Australia.
PERAHU mereka ditarik ke dekat Darwin, Australia Utara, dan di sana sudah ada dua perahu dengan 18 awak. Menurut Pelo, ketiga perahu itu dibakar oleh petugas perikanan Australia (Australian Fisheries Management Authority/AFMA), yang menyebabkan Hok Soen Heng, salah seorang pemilik kapal yang saat itu berada di dalam kapal, menderita luka bakar. Namun, pihak AFMA ketika dimintai klarifikasi oleh Kedutaan Besar RI di Canberra menyangkal semua itu.
Menurut pihak AFMA, aparat Australia tidak terlibat dalam kegiatan pembakaran atas tiga kapal itu. Malah, kapal Sundi Jaya yang dinakhodai Hok Soen Heng hingga kini masih berlabuh di Pelabuhan Darwin. Konsulat RI di Darwin telah melakukan verifikasi di Pelabuhan Darwin dan menyaksikan kapal Sundi Jaya masih dalam keadaan baik serta tidak memiliki tanda-tanda kebakaran. Demikian siaran pers Kedutaan Besar RI di Canberra, Australia, hari Kamis (26/5).
Pelo bersama nelayan lainnya dideportasi, kembali ke kampungnya melalui Denpasar dan Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pengalaman ditangkap petugas Australia saat mencari ikan di Laut Timor itu merupakan pengalaman yang ketiga kalinya. Pertama terjadi tahun 2002 dan kedua tahun 2003. "Tetapi pengalaman paling tragis bagi saya justru terjadi pada penangkapan yang ketiga ini," tuturnya.
Operasi penangkapan nelayan tradisional Indonesia di Laut Timor oleh Australia atas tuduhan memasuki zone ekonomi eksklusif (ZEE) negara itu sebenarnya sudah memasuki usia 31 tahun. Penangkapan besar-besaran yang dimulai tahun 1974 itu masih terus berlangsung hingga hari ini. Diperkirakan sudah ribuan nelayan ditahan, disekap, dan dipenjara, lalu dideportasi.
MASALAH penangkapan nelayan oleh patroli laut Australia, menurut kajian pemerintah, bisa disebabkan tiga faktor.
Pertama, ada persoalan ekonomi di balik kegiatan nelayan Indonesia yang memasuki wilayah negara lain itu, serta ada cukong-cukong yang membiayai dengan iming-iming pendapatan besar.
Kedua, nelayan-nelayan itu memang benar-benar tidak tahu di mana batas wilayah laut Indonesia karena umumnya kapal nelayan tradisional itu tidak dilengkapi perangkat petunjuk posisi atau global positioning system (GPS), sonar, dan sebagainya.
Ketiga, kemungkinan karena bencana alam, seperti badai, sehingga mereka terbawa ke wilayah perairan Australia.
Dari ketiga faktor itu, menurut juru bicara Departemen Luar Negeri Yuri Thamrin, kebanyakan kapal yang ditangkap bukan kapal nelayan tradisional meski kapal mereka tidak dilengkapi GPS seperti umumnya kapal nelayan tradisional. Setelah ditelusuri lebih jauh, diduga kuat ada motif-motif ekonomi yang membuat beberapa nelayan "berjudi" memasuki wilayah laut Australia. Umumnya ikan yang menjadi buruan nelayan-nelayan itu adalah ikan hiu yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Ikan-ikan jenis ini memang lebih banyak terdapat di wilayah perairan Australia.
"Pulau Pasir atau Ashmore Reef itu dalam catatan kita sejak zaman Belanda pun adalah milik Inggris, tidak pernah menjadi milik kita," tutur Yuri menjelaskan. Katanya, penjelasan mengenai batas-batas wilayah laut itu sudah dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan dengan dukungan dari Departemen Luar Negeri. Namun, diduga kuat ada sejumlah cukong yang "memperalat" para nelayan, membiayai mereka untuk berburu hiu hingga ke selatan Laut Timor.
Dalam beberapa pertemuan awal, pihak Australia sudah mengusulkan suatu kegiatan bersama RI-Australia dalam penyebarluasan informasi mengenai wilayah-wilayah kedua negara dan menyediakan mata pencaharian alternatif bagi nelayan sehingga tidak "berjudi" mencari hiu hingga ke wilayah Australia.
Namun hingga kini belum ada upaya perlindungan terhadap nelayan tersebut. "Penangkapan para nelayan itu sekaligus juga mengesankan kita tidak serius menangani persoalan perbatasan," kata Bernando Seran, putra kelahiran Timor Barat, kandidat doktor pada program studi Ilmu Hukum Internasional di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Hal yang sama diungkapkan Dhey Wego Tadeus, master Ilmu Hukum Internasional di Universitas Nusa Cendana, Kupang. Dilihat dari Konvensi Hukum Laut Internasional, sebenarnya tidak ada larangan bagi nelayan tradisional mencari ikan di laut lepas, termasuk di Laut Timor.
BATAS wilayah negara sebenarnya sudah ditetapkan saat kita memperjuangkan wawasan Nusantara pada 1957-1982. Setelah Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) berlaku karena jumlah negara yang meratifikasi sudah mencapai 60 negara pada 1994, Indonesia justru kendur. "Yang sekarang kerap menjadi masalah bukan batas wilayah, kecuali dengan Timor Leste, batas-batas laut wilayah/teritorial kita sudah jelas, tetapi batas hak-hak berdaulat," ungkap ahli hukum laut internasional, Prof Dr Hasyim Djalal.
Dengan Australia, ada masalah batas-batas atas hak berdaulat atas kekayaan alam dan pemeliharaan lingkungan laut. Terdapat dua aspek yang berkaitan dengan hak-hak tersebut, yakni batas dasar laut dan batas zona ekonomi eksklusif.
Penentuan batas dasar laut dengan Australia sudah diselesaikan tahun 1970-an dan sudah diratifikasi. Batas laut ini lebih menjorok ke wilayah pantai Indonesia karena keadaan topografi, geologi, dan geomorfologi dasar laut yang memang lebih menguntungkan Australia.
Setelah Timor Timur berintegrasi ke Indonesia, batas Australia dengan Timor Timur yang ketika itu menjadi bagian dari Indonesia sempat dipersengketakan, kemudian dijadikan zona pengembangan bersama. Setelah Timor Timur berdiri sebagai negara, sampai saat ini kawasan di celah Timor itu masih dipersengketakan Australia dengan Timor Timur.
Ketika batas dasar laut Indonesia dengan Australia ditetapkan, ZEE belum dikenal dalam hukum internasional. ZEE baru ada setelah Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 diratifikasi. Masalahnya sampai saat ini belum ada batas-batas ZEE bilateral Indonesia dengan negara-negara tetangga yang diratifikasi.
Satu-satunya batas ZEE yang sudah selesai dirundingkan adalah dengan Australia. Ironisnya, meski batas ZEE dengan Australia sudah disepakati tahun 1997, Indonesia belum meratifikasi kesepakatan itu dengan aturan di dalam negeri sehingga berketetapan hukum. Dengan Malaysia, Thailand, dan negara-negara tetangga lainnya, ZEE bahkan belum dirundingkan.
"Batas ZEE menyangkut kewenangan atas kekayaan alam, bukan wilayah, sehingga seharusnya bisa diratifikasi tanpa perlu dibawa ke DPR. Misalnya cukup dengan keputusan presiden atau peraturan pemerintah," ujar Hasyim Djalal.
Kesepakatan PBB tentang Perikanan di Laut Bebas tahun 1995 juga sudah ditandatangani, tetapi juga belum diratifikasi. Akibatnya, secara legal teknis yuridis, mestinya kesepakatan itu belum berlaku. Namun, secara politis dalam konteks hubungan baik bertetangga, diharapkan kesepakatan itu tentu menjadi pertimbangan dan diperhatikan.
"Ibarat pasangan yang sudah bertunangan, tetapi belum meresmikan hubungan melalui pernikahan, sehingga belum diikat secara legal. Saya prihatin, kenapa belum juga diratifikasi walaupun sudah bertahun-tahun ditandatangani," katanya.
Kenapa perundingan batas ZEE dan ratifikasi yang merupakan kelanjutan dari kesepakatan hasil perundingan tak kunjung dilakukan Indonesia? Hambatan prosedur administratif sering jadi alasan, siapa yang harus mengurus dan memulai proses ratifikasi: Sekretariat Negara, Departemen Luar Negeri, atau departemen teknis yang terkait? Bagaimana prosesnya, apakah cukup pemerintah saja atau harus dibawa ke DPR. Sekarang ada UU tentang Perjanjian Internasional Nomor 24 Tahun 2000.
Negara ini dikelilingi oleh Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, tetapi negeri ini tidak ikut aktif dalam konvensi regional yang merupakan pengejawantahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982. Dalam Komisi Tuna di Samudra Hindia, Malaysia, China, Korea Selatan, Thailand, bahkan Uni Eropa menjadi anggota, sementara Indonesia hanya jadi peninjau. Konvensi regional di Samudra Pasifik juga tidak diikuti Indonesia. "Sementara negara-negara lain berusaha keras ikut mengatur laut orang lain, kita bahkan tidak mengurus laut kita sendiri."
Negeri ini pernah sangat gigih memperjuangkan wawasan Nusantara agar diakui dunia internasional. Namun, begitu didapat, kita tidak gigih lagi untuk memelihara dan memanfaatkannya. Memang menyakitkan kalau dikatakan begitulah karakter bangsa ini. (cal/oki/day/dmu)


Sabtu, 28 Mei 2005



Negara Lautan, Visinya Daratan
SETIAP kali masalah yang berkaitan dengan kelautan mengemuka, sepertinya sudah biasa ditanggapi dengan sikap yang reaktif dan defensif, tanpa penanganan sistematis. Kelautan juga acap kali baru menarik perhatian jika berkaitan dengan isu kewilayahan.
Sikap seperti ini, menurut pakar hukum laut internasional Prof Dr Dimyati Hartono SH, mencerminkan penentu kebijakan maupun masyarakat belum bervisi Indonesia sebagai negara kepulauan. "Kita membangun berdasar land base oriented, padahal negara kita bukan daratan luas atau benua, tetapi secara obyektif justru salah satu kepulauan terluas di dunia," kata Dimyati menjelaskan.
Pada masa awal Orde Baru pemenuhan pangan, sandang, dan papan digenjot dengan mendirikan pabrik-pabrik. Pulau Jawa dipandang sebagai kawasan yang paling siap untuk pengembangan manufaktur tersebut. Pada akhirnya, pembangunan berbasis daratan itu menimbulkan kesenjangan antara kawasan barat dan kawasan timur Indonesia yang terdiri atas banyak kepulauan dikelilingi laut.
Ketika orientasi daratan digunakan, negara ini juga kebingungan mau mengarah menjadi negara agraris atau negara industri. Sebaliknya, jika orientasi kepulauan diterapkan, jelas Indonesia berpotensi menjadi negara maritim yang besar dan kuat di dunia.
Jauh sebelum Orde Baru, pandangan pembangunan berorientasi ke darat bisa dikatakan sebagai warisan pemerintah kolonial Belanda. Orientasi kelautan memacu terbentuknya karakter yang berpandangan luas, terbuka, kosmopolit, banyak berinteraksi dengan dunia luar. Pandangan seperti ini sangat tidak menguntungkan keberlanjutan penjajahan.
Maka, pelan-pelan bangsa ini dibuat melupakan kegagahan pahlawan-pahlawan Majapahit dan Sriwijaya pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Nusantara serta kegigihan pejuang bahari melawan penjajahan. "Nenek moyangku orang pelaut…," sekadar lirik lagu yang tidak mencerminkan visi anak bangsa ini.
POTENSI kelautan negeri ini diakui dunia. Namun, kemaslahatan masyarakat tidak berusaha dicapai dengan memanfaatkan potensi itu. Sebaliknya, potensi kelautan negeri ini menjadi incaran yang kerap kali menimbulkan konflik muncul dengan negara-negara lain. Kerusakan lingkungan juga menjadi dampak dari kebijakan yang tidak bervisi kelautan.
Betapa pun masalah bermunculan, tanpa perubahan orientasi pembangunan mendasar, kelautan hanya akan menjadi urusan sektoral yang tidak membawa kesejahteraan bangsa. Padahal, lautan negara kepulauan Indonesia adalah faktor eksistensial adanya Nusantara. Fungsi laut yang vital bagi keutuhan wilayah nasional, fungsi vital sebagai sumber daya alam, komponen penting pertahanan dan keamanan, serta nilai vital lautan negeri ini dalam transportasi nasional dan internasional, akan selalu terabaikan.
Mengawali reorientasi pembangunan yang sebelumnya berbasis daratan menjadi basis kepulauan, Dimyati bersama Lembaga Kajian Strategis Maritim Indonesia (Laksmi) mengusulkan pemerintah mengembangkan konsep pita pengaman nasional.
Melalui konsep ini, seluruh pulau lingkar luar wilayah Indonesia dihubungkan oleh titik pengaman. Dalam usulan rancangan pita pengaman nasional yang digagas Laksmi, setidaknya terdapat 45 kawasan kepulauan terluar yang berpotensi untuk dikembangkan dan difungsikan menjadi titik pengaman.
Setiap titik itu dikembangkan sebagai pusat penyelenggaraan pemerintahan lokal sekaligus pusat kegiatan ekonomi dan sosial budaya, sesuai dengan kondisi dan potensi setempat. Pengembangan ekonomi yang terutama berbasis maritim antara lain dapat dilakukan dengan membina nelayan, hortikultura, dan aqua culture. Sementara pengembangan kebudayaan juga menjadi bukti kehadiran Indonesia di kawasan itu.
Bukan perlu tentara saja untuk mempertahankan wilayah, tetapi rakyat memegang peran penting. Masyarakat setempatlah yang juga akan berperan sebagai sistem peringatan dini terhadap ancaman atau gangguan dari luar. (DAY)

Sabtu, 28 Mei 2005



Intelijen Maritim untuk Pengamanan Laut
KEAMANAN wilayah laut adalah konsepsi luas yang mencakup penguasaan, penerapan kedaulatan, penjagaan, pemeliharaan, serta pemanfaatan sumber daya laut negara kepulauan Republik Indonesia. Penguasaan tentu perlu ditandai dengan atribut kepemilikan untuk dapat dikenali. Indikasi penguasaan sekaligus penerapan kedaulatan adalah kehadiran secara politik, ekonomi, sosial budaya, didukung perangkat pertahanan dan keamanan.KELAUTAN jelas bukan sekadar urusan Departemen Kelautan dan Perikanan atau Departemen Luar Negeri jika berkaitan dengan perbatasan wilayah dan hak kedaulatan. Keamanan laut Indonesia juga menjadi urusan yang terlalu besar untuk diserahkan hanya kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI). Visi bersama yang diejawantahkan dalam langkah sinergis lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif mutlak dibutuhkan untuk pengamanan lautan Indonesia.
Sekretaris Bidang Wilayah Dewan Maritim Djuanda menilai, kebijakan-kebijakan lembaga eksekutif berkaitan dengan kelautan selama ini masih dikerjakan secara sektoral sehingga konsolidasi mendesak dilakukan. Dalam tataran yudikatif, persoalan kelautan juga sering berlarut-larut diselesaikan.
Visi maritim juga sangat dibutuhkan untuk dipunyai lembaga legislatif agar diperoleh produk-produk hukum yang akan mendorong lembaga eksekutif, yudikatif, bekerja sinergis dengan visi yang sama. TNI menjadi salah satu ujung tombak operasional dalam kerangka tersebut.
"Jika berbicara tentang laut, dimensi ruangnya bukan hanya perairan, tetapi juga antariksa, dirgantara atau ruang udara, permukaan air, pesisir, kolom air, dasar laut, bawah dasar laut, dan pulau-pulau kecil," kata Djuanda, mengingatkan. Penguasaan dimensi ruang laut ini jelas membutuhkan kemampuan yang sarat teknologi dan informasi.
Mengantisipasi keterbatasan yang ada untuk penguasaan dimensi ruang laut ini, Djuanda mengusulkan pentingnya dikembangkan intelijen maritim yang berkualitas bagus.
Pengambilan keputusan dan pengerahan tenaga yang terbatas dapat dilakukan lebih efisien dan tepat sasaran jika didasarkan pada kemampuan intelijen maritim. "Intelijen maritim ini belum dikembangkan karena dulu seakan-akan yang "berkuasa" di negeri ini hanyalah Angkatan Darat," kata Djuanda.
DEWASA ini, sejumlah masalah yang terkesan menimbulkan penekanan internasional bagi Indonesia saat ini, terutama berkaitan dengan pengelolaan dan pengamanan laut. Persengketaan Pulau Sipadan-Ligitan yang akhirnya lepas dari kesatuan wilayah Indonesia, kasus Ambalat, kecaman atas keamanan Selat Malaka, dan terakhir ketegangan dengan Australia karena persoalan nelayan-nelayan Indonesia.
"Kasus Sipadan dan Ligitan adalah bukti lemahnya penguasaan efektif oleh Indonesia. Sekarang Australia terus-menerus mengadakan patroli di Laut Timor. Rekaman peristiwa dari waktu ke waktu menunjukkan mereka intensif dan lebih aktif dibandingkan dengan Indonesia," kata Bernando Seran, putra kelahiran Timor Barat, kandidat doktor pada program studi Ilmu Hukum Internasional di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Pada aspek politik dan pertahanan keamanan, Bernando menilai, Australia memusatkan perhatian pada era globalisasi atau pasar bebas tahun 2020. "Mereka menangkap nelayan lalu melepasnya lagi. Nelayan itu hanya ’sasaran antara’ saja. Tujuan akhirnya adalah penguasaan minyak Celah Timor," katanya.
Menurut Bernando, operasi penangkapan terhadap nelayan meski belum ada kesepakatan baru tentang batas wilayah, menyusul Timtim merdeka, adalah sebuah perang konsep. Australia terkesan hendak menunjukkan kepada dunia bahwa pada era globalisasi, terutama pasar bebas tahun 2020, Indonesia adalah ancaman.
"Karena itu, mereka mulai mengganggu agar konsep archipelago state Indonesia bisa goyah. Sayangnya, Pemerintah Indonesia tidak melihat hal itu, misalnya ditandai oleh tidak adanya upaya memberikan perlindungan yang memadai kepada nelayan tradisional di Laut Timor," kata Bernando.
Australia adalah negara persemakmuran Inggris. Sementara Inggris adalah sahabat karib yang selalu berkolaborasi dengan Amerika Serikat yang berambisi besar menguasai ladang-ladang minyak dunia, termasuk di Celah Timor. Dengan penetapan Australia Maritime Identification Zone, Australia telah mengupayakan pencapaian kepentingan jangka panjangnya sejak sekarang.
HANYA ada dua kemungkinan di laut: kerja sama atau persaingan! Begitu diingatkan Djuanda. Bagaimana TNI sebagai salah satu ujung tombak bersiap menghadapi tantangan untuk bekerja sama atau bersaing di laut?
Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) Marsekal Muda F Djoko Purwoko menjelaskan, sejak semula pendahulu TNI Angkatan Udara telah berpikir maju dengan men- desain pangkalan radar di pesisir pantai yang juga dapat digunakan untuk memantau angkasa dan lautan. Radar di Medan, Sumatera Utara, misalnya, jika dimiringkan pada posisi tertentu dapat mengawasi perairan Selat Malaka hingga jarak 25 mil laut.
Bahkan, satuan radar di pesisir selatan Jawa dapat memantau pergerakan di lautan Hindia di sebelah selatan Pulau Jawa pada Operasi Trikora. Sayangnya, sebagian peralatan tersebut kini sudah tidak beroperasi atau tidak berada dalam kondisi maksimal.
Meski demikian, radar-radar tersebut masih dapat direkondisikan dan dioperasikan kembali.
Sejumlah radar juga akan ditingkatkan kemampuannya dari sistem analog ke digital sehingga dapat mengirimkan data secara elektronis pada saat kejadian ke pusat komando.
Akan lebih baik jika data pemantauan tersebut dapat disampaikan dan digunakan instansi terkait. Menurut Djoko, setidaknya, sejak sebulan terakhir upaya tersebut telah dirintis oleh TNI AU.
Jika seluruh sistem radar, yakni satuan radar, pesawat intai TNI AU dengan jangkauan radar 500 mil dan kekuatan TNI AL diintegrasikan, tentu penjagaan lautan Indonesia dari pencurian ikan serta penyusupan pelayaran gelap akan menjadi lebih baik.
Selama ini ruang udara telah relatif terkontrol oleh Kohanudnas yang memantau pergerakan sekitar 2.000 pesawat setiap hari. Namun, upaya maksimal untuk menjaga kedaulatan negara di angkasa dan lautan mutlak membutuhkan peningkatan koordinasi pemantauan laut dengan elemen-elemen lain yang terkait.
"Jumlah radar yang ada sebetulnya telah memadai. Namun, kendala yang muncul adalah tidak meratanya penyebaran dan kurangnya pengintegrasian radar antara pihak sipil dan militer," kata Djoko.
Sebagai contoh, ruang udara Jakarta diawasi tiga radar, sementara di Papua hanya terdapat satu radar di Biak yang hanya dapat mengawasi pesisir utara pulau tersebut.
Pendanaan yang terbengkalai sejak beberapa waktu terakhir menjadi masalah dalam upaya membangun sistem pemantauan ini. (day/cal/ong)

Sabtu, 28 Mei 2005



Kasus Pencurian Ikan
Kisah Lama yang Tidak Pernah Tuntas
KETIKA tahun 2004 TNI AL menerapkan kebijakan penembakan dan penenggelaman terhadap setiap kapal ikan asing ilegal, banyak orang meyakini aksi pencurian ikan bakal segera berakhir. Akan tetapi, keadaan di lapangan menunjukkan fakta yang sebaliknya. Aktivitas ilegal tersebut ternyata makin marak dengan konsentrasi utama di Laut Arafura dan Laut China Selatan.
TIDAK diketahui secara pasti jumlah kapal ikan asing ilegal yang beroperasi di kedua perairan itu. Namun, informasi yang dihimpun menyebutkan, di Laut Arafura beroperasi sekitar 500 kapal dengan kapasitas 70-100 gross ton (GT) dan di Laut China Selatan 250-350 kapal. Kapasitas mesin pun hampir sama. Kapal-kapal tersebut khusus menangkap ikan.
Setiap saat kapal penangkap itu selalu dikawal kapal "induk" selaku penampung ikan. Kapasitas kapal besar ini rata-rata 5.000 GT. Jika ikan yang ditampung sudah penuh, kapal tersebut langsung berlayar kembali ke negara asal untuk menyuplai industri pengolahan atau pengalengan ikan setempat. Saat yang sama kapal "induk" lain melakukan fungsi yang sama.
Kapal asing ilegal itu umumnya berasal dari China, Thailand, Taiwan, dan Filipina. Untuk mengibuli petugas, kapal Thailand selalu menggunakan bendera Indonesia. Dokumen yang dimiliki diklaim diterbitkan instansi terkait di Indonesia. Padahal, setelah diklarifikasi, dokumen tersebut ternyata palsu.
Kerugian negara dari pencurian itu berkisar 1 juta sampai 1,5 juta ton per tahun, atau senilai 2 miliar dollar AS sampai 4 miliar dollar AS, atau setara dengan Rp 19 triliun-Rp 38 triliun. Selama tiga tahun terakhir kerugian yang dapat diselamatkan dari operasi yang dilakukan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), TNI AL, dan Polri rata-rata Rp 1,2 triliun per tahun. Itu meliputi penertiban kapal asing ilegal, penertiban kapal ikan tanpa surat izin penangkapan ikan, dan penyitaan ikan hasil penangkapan ilegal.
Dalam sebuah dialog tentang pencurian ikan di Jakarta pada tahun 2004, Kepala Staf TNI AL (saat itu) Laksamana Bernard Kent Sondakh tampak sangat kecewa. Katanya, sejak pertama kali masuk Akademi Angkatan Laut tahun 1970, dia sudah mendengar kabar tentang adanya pencurian ikan di perairan Indonesia. Anehnya, 34 tahun kemudian, saat dirinya menjabat sebagai pemimpin tertinggi TNI AL pun, kasus yang sama tetap semarak dan seperti sulit diberantas.
Mengapa pencurian ikan sulit ditertibkan? Mengapa pelaku tidak takut melanggar hukum? Siapa atau lembaga mana yang berada di balik aktivitas ilegal tersebut?
Sederetan pertanyaan itu sudah berkali-kali ditanyakan kepada yang berwenang, tetapi sulit diperoleh jawaban memuaskan. Ada yang menyebut pihak-pihak yang terlibat dalam pencurian tersebut telah membangun jaringan kerja sama saling menguntungkan yang rapi sehingga sulit dibongkar.
Ada pula yang menilai sumber kelemahan, yakni ketidakseriusan aparat dalam menegakkan hukum. Selama ini tak sedikit pelaku yang dibebaskan majelis hakim dari segala tuduhan atau cuma dikenai denda yang sangat kecil. Barang bukti, terutama kapal ikan yang telah ditahan pun, dilepaskan kembali.
Potensi lestari perikanan tangkap Indonesia rata-rata 6,4 juta ton per tahun. Tahun 2004 volume penangkapan telah mencapai 4,837 juta ton.
UPAYA penertiban kasus pencurian ikan tak pernah surut. Bahkan, pada akhir tahun 2004, diterbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Dalam UU yang baru itu diterapkan peradilan ad hoc (darurat). Pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa.
Hakim juga harus sudah menjatuhkan putusan paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal penerimaan pelimpahan berkas perkara dari penuntut umum. Jangka waktu yang sama berlaku pula bagi hakim pengadilan tinggi serta Mahkamah Agung dalam memutuskan permohonan banding dan kasasi.
Dalam penanganan kasus pencurian ikan selama Januari-April 2005 dengan UU Nomor 31 Tahun 2004, dalam tempo 15 hari penyidik berhasil memberkaskan perkara dan melimpahkan kepada pengadilan. UU tersebut juga mengatur tentang peradilan khusus perikanan. Kini, peradilan itu mulai dibahas dan disiapkan DKP dan Mahkamah Agung, dan paling lambat tahun 2006 harus direalisasikan.
"Dulu, penanganan kasus pencurian bisa memakan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Menyakitkan lagi ada pelaku yang dibebaskan. Jadi, kehadiran UU Nomor 31 Tahun 2004 ini membuat kami sangat terbantu," ujar Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan DKP Busran Kadri.
UU juga menetapkan bahwa mereka yang menangkap dan membudidayakan ikan menggunakan bahan kimia dan bahan peledak diancam pidana penjara enam tahun dan denda Rp 1,2 miliar. Hukuman yang sama berlaku bagi nakhoda kapal dan anak buah kapal. Khusus pemilik kapal atau penanggung jawab perusahaan perikanan, mereka diancam hukuman penjara 10 tahun dan denda Rp 2 miliar.
Dalam UU itu juga diatur kasus pencemaran di laut. Terhadap pelanggar, mereka diancam hukuman penjara paling lama enam tahun dan denda Rp 1,5 miliar sampai Rp 2 miliar sesuai dengan jenis kerusakan. Apabila pencemaran merusak plasma nutfah sumber daya ikan, pelaku dikenai denda Rp 1 miliar dan penjara dua tahun. UU tersebut mewajibkan setiap kapal penangkap ikan memiliki surat izin penangkapan ikan (SIPI).
Bagi kapal berbendera Indonesia yang melanggar ketentuan itu, pengelola dan pemilik kapal dapat diancam pidana enam tahun dan denda Rp 2 miliar. Kalau pelanggaran dilakukan kapal berbendera asing, pengelola serta pemilik kapal terancam penjara enam tahun dan denda Rp 20 miliar.
"Kami (pemerintah dan DPR) sengaja membuat sanksi hukum yang berat guna mencegah pelanggaran perikanan. Selain itu, memberi kepastian hukum bagi pelaku perikanan, termasuk memproporsionalkan hak dan kewajiban bagi pelaku usaha perikanan," kata Rokhmin Dahuri yang saat UU itu disahkan masih menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan.
"Bahkan, UU ini dapat menciptakan kesetaraan manfaat bagi nelayan kecil, pembudidaya ikan kecil, serta perusahaan perikanan. Termasuk memberikan manfaat nyata secara ekonomi dan kesejahteraan bagi pelaku usaha serta mampu bersaing di pasar global dengan berbasis kuat kepada sumber daya alam yang berkelanjutan," ujarnya.
BERDASARKAN ketentuan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) tahun 1982, negara pantai harus menetapkan kemampuannya dalam memanfaatkan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif (ZEE) miliknya. Jika negara pantai tersebut belum memiliki kemampuan untuk memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan, maka negara bersangkutan harus memberikan kesempatan kepada negara lain untuk memanfaatkannya melalui perjanjian.
Hingga akhir tahun 2001, diperkirakan sekitar 7.200 kapal ikan asing beroperasi di ZEE Indonesia. Sekitar 50 persen di antaranya memiliki dokumen palsu. Ikan yang ditangkap tak satu ekor pun disuplai ke daratan Indonesia; semuanya diangkut ke negara asal kapal guna menghidupkan industri pengolahan ikan serta peningkatan ekonomi negara tersebut.
Maka, mulai tahun 2002 dilakukan penertiban. Langkah yang dilakukan antara lain registrasi ulang semua kapal ikan. Khusus kapal asing dilakukan pembatasan jumlah. Kini hanya 712 unit yang diizinkan beroperasi di ZEE. Kapal sebanyak itu berasal dari Filipina (114), Thailand (302), dan China (280). Sebanyak 16 kapal asing lainnya belum melakukan pendataan ulang. Total kapal yang beroperasi di perairan Indonesia sekitar 240.000 unit dengan kapasitas minimal 30 GT.
Kapal Filipina mulai akhir tahun 2005 tidak diizinkan lagi beroperasi di ZEE Indonesia. Setelah itu, disusul kapal dari Thailand pada akhir tahun 2006, dan kapal China pada akhir tahun 2007.
Izin penangkapan hanya diberikan kepada perusahaan asing yang melakukan investasi dengan mendirikan industri pengolahan ikan secara terpadu di Indonesia. Kapal yang diizinkan disesuaikan dengan kapasitas terpasang dari industri tersebut.
"Kami sangat menyadari pemberantasan pencurian ikan tak akan tuntas dalam waktu singkat. Maka, dengan pembatasan kapal asing beroperasi di ZEE yang disertai dengan operasi yang tegas dari aparat keamanan, pencabutan izin kapal ikan yang nakal, perbaruan izin, kami yakin bisa menekan kerugian negara dari pencurian ikan. Kalau tahun 2005 dapat ditekan hingga mencapai 20 persen, sudah luar biasa," kata Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi.
Persoalannya adalah bagaimana memperkuat armada kapal ikan nasional untuk beroperasi di ZEE Indonesia setelah adanya pembatasan terhadap kapal asing? Gugatan itu patut diajukan sebab sejauh ini perhatian DKP terhadap pengadaan armada penangkapan ikan masih sangat minim.
Bahkan, pemerintah pun nyaris tidak mendorong dan memberi ruang yang luas bagi perkembangan industri kapal perikanan dan peralatan tangkap. Padahal, sebagai negara kepulauan, dengan wilayah laut lebih luas daripada daratan, seharusnya industri kapal, termasuk kapal ikan, berkembang pesat.
Akan tetapi, harapan ini agaknya cuma mimpi indah belaka. Mengapa? Karena Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2005 tentang Industri Pelayaran Nasional yang diterbitkan pada awal April 2005 sama sekali tak menyinggung upaya percepatan pembangunan industri armada penangkapan ikan.
"Jika pemerintah benar-benar serius memberdayakan sektor kelautan, seharusnya industri armada penangkapan ikan diberi peluang berkembang. Karena melarang kapal asing beroperasi tanpa mengisi armada nasional sebagai pengganti, yang banyak dan tangguh, berarti upaya penertiban itu bakal sia-sia," kata Ketua Umum Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) Shidiq Moeslim.
Persoalannya sekarang adalah kapan kasus pencurian ikan diberantas hingga ke akarnya? Melihat upaya penegakan hukum selama ini, di mana yang diseret ke pengadilan hanya para pelaku kelas teri, banyak pihak meragukan keseriusan pemberantasan pencurian ikan.
Artinya, sampai kapan pun kasus itu tak akan pernah selesai. Jika itu benar, persoalannya bukan sebatas penegakan hukum, tetapi yang lebih memprihatinkan adalah kehancuran biota laut sebagai akibat dari aktivitas ilegal tersebut, karena dalam penangkapan ikan, kapal asing umumnya menggunakan pukat harimau.
Alat tangkap itu sangat dahsyat dalam merusak terumbu karang dan biota laut lainnya. Proses pemulihan membutuhkan waktu yang lama. Inilah kerugian yang paling besar yang selalu diderita masyarakat Indonesia, tetapi selalu terabaikan, setelah terbius dengan jutaan rupiah dan dollar AS. Menyedihkan, tetapi itulah faktanya, sehingga kasus pencurian ikan tidak pernah tertangani sampai tuntas. (JANNES EUDES WAWA)
Sabtu, 28 Mei 2005



Laut Terkuras, Biduk Nelayan Kandas
MEMILIKI wilayah laut yang terluas di kawasan Asia Tenggara, bahkan di dunia, tidak serta-merta membuat nelayan Indonesia bisa menikmati kekayaan laut. Kenyataannya malah sebaliknya, nelayan tradisional semakin terpinggirkan ke tepian perbatasan, sementara nelayan asing kian leluasa mengeruk kekayaan alam laut Indonesia. Alih-alih mampu memberdayakan nelayan lokal, pemerintah bahkan tak berdaya menghadapi pencurian ikan oleh pihak asing.
KESIMPULAN demikian terangkum dari hasil jajak pendapat yang dilakukan terhadap pemilik telepon di 10 kota besar di Indonesia. Berbagai penilaian ketidakpuasan dilayangkan publik jajak pendapat kali ini terhadap segenap upaya pemerintah mengatasi berbagai persoalan di bidang kelautan.
Meskipun diyakini bahwa kekayaan laut, khususnya ikan, di negeri ini masih sangat mencukupi untuk kebutuhan seluruh rakyat Indonesia, disadari bahwa saat ini kondisi laut benar-benar sudah sangat memprihatinkan. Selain karena kerusakan dan pencemaran yang parah, pengerukan kekayaan laut oleh kapal nelayan asing dan penggunaan teknik penangkapan ikan yang berlebihan turut menjadi andil makin mandulnya produksi laut.
Tidak kurang dari 71,9 persen responden menilai wilayah laut Indonesia saat ini sudah rusak. Tidak hanya itu, hampir tiga dari empat responden (74,7 persen) menganggap pencemaran yang terjadi di lautan Indonesia saat ini sudah parah. Di sisi lain, upaya pemerintah sendiri dinilai belum maksimal menghadapi persoalan ini. Tidak kurang dari 72,7 persen responden menyatakan ketidakpuasan mereka pada kinerja pemerintah menanggulangi kerusakan dan pencemaran laut.
Selain itu, hampir tiga dari empat responden (72,5 persen) juga menegaskan bahwa masalah pencurian ikan oleh nelayan asing sudah dalam taraf yang parah. Mayoritas responden (65,1 persen) juga menyatakan tidak puas dengan kinerja pemerintah dalam mencegah pencurian ikan oleh nelayan asing, dan lebih dari separuh (57,9 persen) malah menyatakan pemerintah selama ini kurang bersikap tegas terhadap keberadaan nelayan asing di perairan nasional.
PRAKTIK pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia ini memang sudah pada tahap yang sangat memprihatinkan. Selain telah merugikan negara hampir Rp 30 triliun per tahun, perangkat hukumnya sendiri belum mantap. Tindakan hukum terhadap pelaku masih lemah, seperti masih diberikannya izin penangkapan bagi awak kapal yang kasusnya telah disidangkan di pengadilan. Alasan yang sama masih terus saja dikumandangkan pemerintah, bahwa pencurian ikan tetap terjadi karena keterbatasan kemampuan pengawasan dan pengendalian, baik oleh aparat pusat dan daerah maupun oleh TNI Angkatan Laut dan Polisi Perairan. Dalih lain adalah karena luasnya wilayah perairan.
Padahal, sebagai negara maritim, Indonesia seharusnya menetapkan sektor kelautan sebagai prioritas pengembangan. Namun nyatanya, pembangunan yang dilakukan selama ini lebih menekankan pada pengembangan sektor pertanian. Pengembangan sektor kelautan sampai sekarang cenderung masih jalan di tempat. Hal ini ditandai oleh keterbatasan sarana perikanan dan belum optimalnya hasil perikanan dalam beberapa tahun terakhir ini. Sektor kelautan baru bangkit dari tidur panjangnya pascareformasi ini, ditandai oleh terbentuknya departemen tersendiri, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).
Jika dilihat dari perkembangannya selama masa reformasi ini, produk domestik bruto (PDB) sektor perikanan dalam kurun 2000-2004 memang telah menunjukkan peningkatan rata-rata yang cukup besar, yaitu sekitar 26,06 persen per tahun atau melebihi rata-rata peningkatan PDB nasional yang mencapai 12,14 persen per tahun. Selain itu, jika dihitung dari keseluruhan produk olahan lain dari ikan, seperti ikan tuna, ikan kalengan, dan rumput laut, total kontribusi sektor kelautan dan perikanan menjadi 9 persen dari PDB. Namun, jika dihitung hanya dari produk ikan mentahnya saja, sektor kelautan dan perikanan di Indonesia baru menyumbang 2,21 persen dari PDB. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri sempat menyatakan keheranannya dengan kecilnya kontribusi ini, membandingkan dengan kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan garis pantai yang sangat panjang.
Memang, di usianya yang masih terlalu singkat untuk bisa menyejajarkan DKP dengan departemen-departemen lainnya, misalnya departemen pertanian, menjadi terlalu dini mengharapkan hasil yang besar dari departemen ini. Fasilitas yang dimiliki departemen ini pun masih sangat terbatas. Hingga kini, DKP baru memiliki 14 kapal pengawas, termasuk kapal yang baru diresmikan pengoperasiannya. Padahal, untuk mengawasi wilayah perairan Indonesia dibutuhkan sedikitnya 100 unit kapal patroli cepat. Selama ini pengawasan kawasan laut terbantu oleh patroli TNI AL dan Polri. Tapi, tentu saja itu belum cukup, terlebih TNI AL yang tugas sebenarnya adalah pada pertahanan wilayah kedaulatan. Maka, wajar jika tidak kurang dari 58 persen responden menilai armada keamanan laut Indonesia saat ini tidak memadai untuk menjaga kedaulatan wilayah NKRI dari pencurian ikan oleh kapal dan nelayan asing.
Sementara itu, tugas DKP sendiri tidak hanya mengawasi laut dan mencegah penangkapan ikan ilegal. Lebih penting dari upaya pencegahan terhadap pencurian ikan oleh nelayan asing itu, sebetulnya adalah upaya memberdayakan nelayan lokal sendiri sebab, jika dibandingkan dengan besarnya perhatian pemerintah selama ini pada pertanian yang agraris, kehidupan nelayan di Indonesia sesungguhnya masih terpinggirkan.
MENJADI nelayan di Indonesia memang ironis, tidak hanya tergilas oleh nelayan asing, tapi juga terpinggir di rumah sendiri. Padahal, mereka hidup di negeri yang dua pertiga wilayahnya adalah lautan. Tidak kurang dari 60,6 persen responden juga menilai bahwa selama ini nelayan asinglah yang lebih memanfaatkan hasil laut ketimbang nelayan lokal. Memang, sebagian (48,1 persen) publik jajak pendapat ini menilai kemampuan nelayan Indonesia tidak mampu bersaing dengan nelayan asing. Namun, pendapat ini sebanding dengan mereka (48,0 persen) yang yakin akan kemampuan nelayan Indonesia bersaing dengan nelayan asing.
Upaya pemerintah dalam memberdayakan nelayan lokal juga belum dirasakan manfaatnya, bahkan kadang terkesan tidak tulus. Di Jawa Timur, dana pengadaan perahu untuk nelayan disinyalir telah diselewengkan dengan cara mark-up. Akibatnya, penyerahan perahu kepada kelompok nelayan yang berhak untuk menerima menjadi tertunda. Catatan-catatan ini semakin menggarisbawahi belum maksimalnya upaya pemerintah dalam memberdayakan nelayan kecil dan nelayan tradisional.
Selain harus berhadapan dengan kapal nelayan asing dan kurangnya modal, nelayan tradisional juga menghadapi secara langsung akibat dari merosotnya kelestarian ekosistem laut. Kerusakan laut terus terjadi, baik karena penebangan hutan bakau dan tergerusnya ekosistem laut maupun pencemaran oleh zat kimia dan pengeboman ikan. Rusaknya kawasan pesisir laut menyebabkan kemampuan ekosistem laut menurun dalam mendukung pembiakan kembali ikan-ikan ke volume semula. Akibatnya, terjadilah penangkapan ikan yang lebih banyak dari kemampuan ekosistem laut untuk memulihkan diri.
Memang, masalah perusakan laut ini bukan melulu tanggung jawab pemerintah. Masyarakat nelayan itu sendiri juga berpotensi menjadi aktor perusak lingkungan. Tidak saja penggunaan bom ikan, penggunaan pukat harimau merusak seluruh sumber hayati laut. Ironisnya, meskipun sudah ada Keppres Nomor 39/1980 yang melarang penggunaan pukat harimau dalam penangkapan ikan di perairan Indonesia, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur justru mengusulkan agar diberikan izin bagi para nelayan kecil untuk memakai jaring pukat harimau ini. Alasannya, selama ini para nelayan lokal itu selalu kalah bersaing dengan pihak yang menggunakan kapal-kapal ikan sejenis asal Malaysia yang sering mencuri ikan di perairan Indonesia dengan pukat harimau. Selama ini para nelayan kecil itu memang kalah segalanya dibandingkan dengan mereka yang menggunakan kapal-kapal berukuran besar yang juga menggunakan trawl. (BE Satrio/Litbang Kompas)
Sabtu, 04 Juni 2005



Belajar Mencintai Laut sejak Usia Dini untuk Bangsa Bahari
PILIHAN berwisata dengan kapal selam sudah tersedia di Bali sejak tujuh bulan lalu. Septanto dari manajemen Odyssey Submarine Bali yang berkantor di Jalan Raya Kuta, Denpasar, menginformasikan, kalau pengunjungnya sedang padat, kapal bisa beroperasi hingga lima kali sehari, rata-rata tiga kali sehari.
Kapal selam Odyssey berukuran lebar 4 meter dan panjang 17 meter, berkapasitas 36 tempat duduk. Seperti diakui Septanto, pelancong yang paling berminat dengan kapal selam ini ialah wisatawan asal Jepang dan Taiwan.
Terkait minat wisatawan Jepang pada pelancongan bawah laut ini, ternyata membutuhkan pelayanan khusus. Khusus di Teluk Amuk, kelompok perusahaan jasa pariwisata Odyssey Submarine terpaksa menyediakan dua bangunan pendukungnya yang berfungsi sebagai restoran sekaligus reservasi penumpang.
Indra, pemandu tamu Odyssey Submarine di Teluk Amuk menggambarkan, jika tamu yang berkunjung adalah gabungan wisatawan asing dari Jepang, Taiwan, Korea atau asal negara Asia Pasifik lainnya, maka harus hati-hati dalam pelayanannya.
Lepas dari kiat melayani tamu, kesaksian ketika penyelaman di Teluk Amuk, juga menyuguhkan pemandangan menarik. Dari sekitar 24 pengunjungnya ketika dive di waktu pagi itu, hampir semuanya pelancong domestik. Bahkan termasuk dua anak balita bersama ibunya.
Mengapa putrinya ikut dibawa serta dalam penyelaman ini? "Saya dengan sengaja mengikutsertakannya agar dia sejak kecil mulai belajar mencintai laut," tutur ibu Arya asal Bali.
Menikmati rekreasi dengan kapal selam di Teluk Amuk bukanlah rekreasi murah. Untuk penyelaman selama 45 menit, tamu pengunjung domestik harus membayar tiket Rp 450.000 per orang dewasa atau separuh harga untuk anak-anak. Ibu Arya bersama putrinya harus membayar Rp 675.000, biaya ini termasuk antar jemput, minuman, makan siang, serta asuransi.
Jawaban Ibu Arya ini terkesan menantang, bagaimanapun Indone- sia adalah negara maritim terbesar di dunia. Wilayah lautnya sekitar 5,8 juta kilometer persegi (km²). Jumlah itu masing-masing dari perairan teritorial 3,1 km² dan 2,7 juta km² lainnya perairan ZEE (zona ekonomi eksklusif).
Tercatat pula potensi perikanan tangkap 6,4 juta ton per tahun (tahun 1999). Juga menyimpan harta tak ternilai, mulai dari berbagai jenis ikan, pasir kwarsa, hingga minyak bumi serta berbagai jenis biota lainnya.
Namun, sebagaimana pernah diakui mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Sarwono Kusumaatmadja, dan mantan Kepala Staf TNI AL Laksamana Bernard Kent Sondakh, Indonesia hingga sekarang belumlah menjadi bangsa yang mencintai laut.
Bahkan, Sarwono sendiri ketika tampil sebagai pembicara dalam sebuah seminar di Denpasar bulan lalu sempat mengisahkan pengalamannya yang mengecewakan. Ia pernah meminta siswa SD melukis, namun tidak satu pun di antara anak-anak itu yang melukis tentang kehidupan pantai dan lautnya.
Belajar dari sikap seorang ibu yang membawa bocah Eka Permana adalah sebuah langkah simpatik yang layak menjadi contoh membangun bangsa bahari. Septanto juga melontarkan hal yang mirip sama, Indonesia sebagai negara kepulauan seharusnya lebih berorientasi ke laut.
"Karakter bahari bangsa harus dibangun sejak usia anak-anak. Inilah menjadi salah satu pertimbangan kami memungut separuh harga dari anak-anak domestik," katanya. (ans)

Rabu, 15 Desember 2004



Hari Nusantara
Makna bagi Kedaulatan dan Kemakmuran Indonesia
Rokhmin Dahuri
KALAU peringatan puncak Hari Nusantara tahun lalu dilaksanakan di Banten, maka tahun ini akan dilaksanakan di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, tanggal 15 Desember 2004. Peringatan ini rencananya akan dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Seandainya tak ada Deklarasi Djoeanda, maka potensi kekayaan laut Indonesia hanya sepertiga dari potensi yang dimiliki sekarang. Soalnya, wilayah laut Indonesia saat itu hanya meliputi laut sejauh tiga mil dari garis pantai yang mengelilingi pulau-pulau di Nusantara. Di antara pulau-pulau Indonesia, terdapat laut bebas (internasional) yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Syukurlah bahwa Ir H Djoeanda, Perdana Menteri pada waktu itu, pada 13 Desember 1957 mengumumkan kepada dunia bahwa wilayah laut Indonesia tidaklah sebatas itu, seperti diatur dalam Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordonantie (Ordonansi tentang Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim) 1939, tetapi wilayah laut Indonesia adalah termasuk laut di sekitar, di antara, dan di dalam Kepulauan Indonesia.
Deklarasi Djoeanda tak langsung diterima oleh sebagian besar masyarakat dunia, bahkan Amerika Serikat (AS) dan Australia menentangnya. Namun, berkat kegigihan perjuangan melalui diplomasi para penerusnya, seperti Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja, Dr Hasyim Djalal, dan lainnya, deklarasi yang berisikan konsepsi Negara Nusantara (Archipelagic State) itu diterima masyarakat dunia dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB, United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) 1982.
Peran laut Indonesia
Melalui Deklarasi Djoeanda, wilayah lautIndonesia menjadisangat luas,yaitu 5,8jutakm>jmp -2008m<>kern198m<>h 6024m,0<>w6024m<2>jmp 0m<>kern200m<>h 8333m,0<>w8333m<, yang merupakan tiga per empat dari keseluruhan wilayah Indonesia. Di dalamnya terdapat lebih 17.500 pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Karena itu, Indonesia dikenal sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia. Maka, Hari Nusantara pun memainkan peran geopolitik yang strategis dan mendasar bagi kesatuan, persatuan, pertahanan dan kedaulatan Indonesia.
Deklarasi Djoeanda sejatinya adalah salah satu dari tiga pilar utama bangunan kesatuan dan persatuan negara dan bangsa Indonesia, yaitu: Kesatuan Kejiwaan yang dinyatakan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928; Kesatuan Kenegaraan dalam NKRI yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta tanggal 17 Agustus 1945; dan Kesatuan Kewilayahan (darat, laut, dan udara) yang diumumkan Djoeanda, 13 Desember 1957.
Selain peran geopolitik, laut juga memiliki peran geoekonomi. Laut kita mengandung kekayaan alam yang sangat besar dan beraneka ragam, baik yang dapat pulih (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk- produk bioteknologi); tak dapat pulih (seperti minyak dan gas bumi, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya); energi kelautan (seperti pasang surut, gelombang, angin, dan OTEC atau Ocean Thermal Energy Conversion); maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti pariwisata bahari dan transportasi laut.
Ada 7,5 persen (6,4 juta ton/ tahun) dari potensi lestari total ikan laut dunia berada di perairan laut Indonesia. Kurang lebih 24 juta hektar perairan laut dangkal Indonesia cocok untuk usaha budidaya laut (mariculture) ikan kerapu, kakap, baronang, kerang mutiara, teripang, rumput laut, dan biota laut lainnya yang bernilai ekonomis tinggi, dengan potensi produksi 47 juta ton/tahun.
Lahan pesisir (coastal land) yang sesuai untuk usaha budidaya tambak udang, bandeng, kerapu, kakap, kepiting, rajungan, rumput laut, dan biota perairan lainnya diperkirakan 1,2 juta hektar dengan potensi produksi sebesar 5 juta ton/tahun. Lebih dari itu, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut pada tingkatan genetik, spesies, maupun ekosistem tertinggi di dunia.
Secara keseluruhan nilai ekonomi total dari produk perikanan dan produk bioteknologi perairan Indonesia diperkirakan mencapai 82 miliar dollar AS per tahun. Hampir 70 persen produksi minyak dan gas bumi Indonesia berasal dari kawasan pesisir dan laut. Potensi ekonomi jasa perhubungan laut diperkirakan 12 miliar dollar AS per tahun. Ini berdasarkan pada perhitungan bahwa sejak 15 tahun terakhir Indonesia mengeluarkan devisa lebih dari 10 miliar dollar AS per tahun untuk membayar armada pelayaran asing yang selama ini mengangkut 95 persen dari total barang yang diekspor dan diimpor ke Indonesia, dan yang mengangkut 45 persen dari total barang yang dikapalkan antarpulau di wilayah Indonesia.
Meskipun belum ada perhitungan tentang potensi ekonomi pariwisata bahari, jika dibandingkan dengan negara bagian Queensland, Australia, dengan panjang garis pantai 2.100 km mampu menghasilkan devisa dari pariwisata bahari 2 miliar dollar AS per tahun, maka sebenarnya potensi ekonomi pariwisata bahari Indonesia sangatlah besar.
Potensi ekonomi ini menjadi lebih besar dan strategis seiring dengan pergeseran pusat ekonomi dunia dari Poros Atlantik ke Asia Pasifik. Hampir 70 persen total perdagangan dunia berlangsung di antara negara- negara di Asia Pasifik. Lebih dari 75 persen barang-barang yang diperdagangkan ditransportasikan melalui laut, dan 45 persen (1.300 triliun dollar per tahun) melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) yang meliputi Selat Malaka, Selat Lombok, Selat Makassar, dan laut- laut Indonesia lainnya.
Karena letak Indonesia sangat strategis, diapit oleh Samudra Pasifik dan Samudra Hindia serta oleh Benua Asia dan Australia, seharusnya bangsa Indonesia yang mendapat keuntungan paling besar dari posisi kelautan global tersebut.
Sayangnya, bangsa Indonesia di masa lalu melupakan jati diri kita sebagai bangsa maritim terbesar di dunia. Sumber daya kelautan hanya dipandang dengan "sebelah mata". Kalaupun ada kegiatan pemanfaatan sumber daya kelautan, maka dilakukan secara kurang profesional dan ekstraktif, kurang mengindahkan aspek kelestariannya.
Sebaliknya, laut dipersepsikan sebagai tempat buangan (keranjang sampah) berbagai macam jenis limbah baik yang berasal dari kegiatan manusia di darat maupun di laut. Dukungan infrastruktur, iptek, SDM, sumber daya keuangan, hukum, dan kelembagaan terhadap bidang kelautan di masa lalu sangat rendah.
Jepang dengan panjang pantai 34.000 km memiliki 3.000 pelabuhan perikanan (satu pelabuhan perikanan setiap 11 km garis pantai) dan Thailand dengan 2.600 km panjang pantai mempunyai 52 pelabuhan perikanan (satu pelabuhan perikanan setiap 50 km garis pantai). Sedangkan Indonesia hanya punya 18 pelabuhan perikanan yang setingkat Jepang, atau satu pelabuhan perikanan setiap 4.500 km garis pantai.
Sejak tahun 1970 sampai 1996 kredit usaha yang dicurahkan untuk usaha perikanan hanya sekitar 0,02 persen dari total kredit. Oleh karena itu, wajar bila pencapaian hasil pembangunan kelautan di masa lalu sangatlah kecil dibandingkan dengan potensi kekayaan laut yang kita miliki.
Terobosan kelautan
Sejak berdirinya Dewan Maritim Indonesia dan Departemen Kelautan dan Perikanan akhir 1999, geliat pembangunan kelautan mulai menunjukkan hasilnya. Dari perspektif geopolitik, hukum, dan perundangan di bidang kelautan telah disusun dan disempurnakan, seperti penyempurnaan UU No 9/1985 tentang Perikanan yang telah diundangkan sejak 6 Oktober 2004 menjadi UU No 31/2004 tentang Perikanan, RUU Perhubungan Laut, RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir, RUU Kelautan, PP No 38/2002 tentang Garis Pangkal Indonesia, dan Rencana Keppres tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Terluar dan Wilayah Perbatasan.
Inventarisasi jumlah, penamaan, penyusunan basis data, dan pembangunan pulau-pulau kecil pun mulai digiatkan sejak awal tahun 2000. Berkat kerja sama sinergis antar-instansi terkait, antara lain Departemen Kelautan dan Perikanan, Bakosurtanal, Dishidros TNI AL, Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Luar Negeri, kita pun telah berhasil memublikasikan Peta NKRI sejak 2 Mei 2003.
Dari perspektif geoekonomi, pembangunan ekonomi kelautan di sektor perikanan, perhubungan laut, pariwisata bahari, pertambangan, dan industri maritim pun terus mengalami perbaikan. Namun, perbaikan pembangunan ekonomi di berbagai sektor kelautan tersebut masih jauh lebih kecil ketimbang potensinya.
Oleh sebab itu, perlu dicari berbagai terobosan untuk mendayagunakan sumber daya kelautan secara optimal dan lestari sebagai keunggulan kompetitif bangsa. Keunggulan kompetitif suatu bangsa yang sejati adalah keunggulan kompetitif yang dibangun atas dasar keunggulan komparatif yang dimiliki bangsa tersebut melalui penerapan iptek dan manajemen profesional (Porter, 1998) serta akhlak mulia.
Mengingat potensi pengadaan Indonesia dalam hal sumber daya dan jasa-jasa kelautan sangat besar serta permintaan terhadap sumber daya dan jasa kelautan tersebut terus meningkat, maka kekayaan laut seharusnya dapat menjadi keunggulan kompetitif Indonesia, yang dapat menghantar menjadi bangsa yang maju, makmur, dan mandiri.
Untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama, seyogianya ada perubahan paradigma pembangunan nasional, dari land-based development menjadi ocean-based development. Pembangunan di darat harus disinergikan dan diintegrasikan secara proporsional dengan pembangunan sosial-ekonomi di laut.
Dalam konteks inilah, Gerbang Mina Bahari (Gerakan Nasional Pembangunan Kelautan dan Perikanan) dengan basis utama tiga pilar ekonomi kelautan, yaitu perikanan dan bioteknologi, pariwisata bahari, dan perhubungan laut, menjadi sangat penting untuk dilaksanakan. Inti dari gerakan nasional ini adalah bahwa pada tataran teknis-operasional, ketiga sektor ekonomi (pembangunan) kelautan tersebut harus mampu memperbaiki kinerjanya secara signifikan melalui peningkatan efisiensi dan produktivitas di seluruh mata rantai bisnis (usaha).
Di sektor perikanan dan bioteknologi perairan, peningkatan tersebut mulai dari proses produksi (penangkapan dan budidaya), penanganan dan pengolahan hasil, dan pemasaran. Pada sektor pariwisata perbaikan dimaksud mencakup penguatan dan pengembangan obyek wisata bahari dan pantai, pelayanan, dan pengemasan serta promosi. Sedangkan pada sektor perhubungan laut meliputi industri perkapalan, manajemen kepelabuhanan, dan transportasi lautnya itu sendiri.
Pada tataran kebijakan makro (politik-ekonomi), kebijakan fiskal dan moneter (terutama ketersediaan kredit); sektor- sektor lain yang terkait (seperti keuangan, industri, perdagangan, pekerjaan umum, energi dan pertambangan, dan keamanan); dan masyarakat serta pemerintah daerah harus bersifat kondusif bagi tumbuh kembangnya ketiga sektor ekonomi kelautan itu.
Apabila Indonesia mampu secara total football dan sinergis membangun bidang kelautan sebagaimana digambarkan di atas, bukan tidak mustahil bahwa bidang kelautan akan mampu membuahkan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan (sustained economic growth), mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan menuju Indonesia yang maju, makmur, dan damai.
Rokhmin Dahuri Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan

Mengembalikan Kejayaan Bangsa Bahari
Oleh Akhmad Solihin
Suara Karya: 20 Februari 2004
Sejarah merupakan cermin yang jernih dan referensi terpercaya untuk melakukan suatu perubahan guna membangun masa depan yang gemilang. Indonesia dianugerahi sebagai negara maritim dan kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia, tidak semata-mata lahir secara kebetulan atau ahistoris, melainkan dari perjalanan panjang sejarah masyarakat Nusantara yang berjiwa bahari seperti tegas, terbuka, kosmopolit, menembus kedangkalan -serta kekerdilan berfikir.
Sikap masyarakat bahari ini bertolak belakang dengan masyarakat agraris yang dicirikan dengan pendeknya wawasan berfikir, terbentuknya watak kerdil dan kemunafikan. Hal ini diungkap tuntas dalam novelnya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul "Arus Balik", suatu novel yang merupakan epos sejarah kejayaan kerajaan-kerajaan pesisir dalam menguasai peradaban, dari segi ekonomi, politik, teknologi hingga militer.
Kejayaan Majapahit dengan kegagahan armada kapalnya dalam mengarungi samudera untuk mempersatukan Nusantara, termaktub dalam janji suci "Sumpah Palapa" Gajah Mada, namun cita-cita suci tersebut kian hari kian terhempas ke dalam kubangan yang memalukan. Hal ini dicerminkan dengan kebijakan yang selama ini hanya bertumpu pada pemanfaatan sumberdaya daratan (continental orientation) dan memarginalkan sumberdaya lautan (maritime orientation). Akibatnya, sektor kelautan dan perikanan menjadi sektor pinggiran (perypheral), di mana wilayah pesisir hanya menjadi kantung-kantung kemiskinan masyarakat nelayan, seperti terkukuhkannya masyarakat nelayan sebagai masyarakat yang paling miskin dari yang termiskin (poorest of the poor).
Padahal semestinya fenomena kemiskinan di masyarakat pesisir ini tidak terjadi, mengingat mereka hidup di tengah-tengah kekayaan sumberdaya alam yang sangat melimpah. Lebih daripada itu, lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia pada tanggal 17 Desember 2002 telah menorehkan luka yang amat dalam di seluruh jiwa masyarakat Indonesia dan ini membuktikan bahwa rapuhnya visi kebaharian dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia mengubah visi pemerintah dari continental orientation menjadi maritime orientation, sehingga arus balik peradaban kejayaan kerajaan-kerajaan pesisir di masa lalu dapat kembali diraih.
Skenario Kolonialis

Keterpurukan dan ketertinggalan pembangunan di wilayah pesisir dan laut hingga saat ini tidak lepas dari strategi kaum kolonialis Eropa dalam menghancurkan peradaban tertinggi masyarakat Nusantara yang berjiwa bahari. Sebelumnya terciptanya kerdilisasi jiwa masyarakat Nusantara yang dalam proyek besar "kaum kolonialis" Eropa, warga Nusantara telah mampu berlayar sampai ke Madagaskar, Afrika bagian Selatan dan Kepulauan Melanesia di Samudera Pasifik. (Dahuri, 2003). Kenapa proyek kerdilisasi ini dihantamkan kepada masyarakat Nusantara?
Dari sekian jawabannya, semua mengerucut pada satu pemahaman inti, yaitu penghancuran peradaban. Dahuri (2003) mengungkapkan dalam orasi ilmiahnya bahwa periode emas dari kejayaan bahari Nusantara terjadi mulai masa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit di abad ke-8 hingga abad ke-14. Lalu, kejayaan tersebut disusul oleh bermunculannya kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan Islam yang umumnya terletak di wilayah pesisir, seperti di Pantai Utara Jawa, yaitu Demak, Surabaya, Tuban, Gersik, Jepara, Cirebon dan Banten. Di wilayah pesisir timur Sumatera, yaitu Samudra Pasai, Aceh Darussalam, Kesultanan Riau, Palembang, sementara di Sulawesi, yaitu Makasar dan Bugis, dan Maluku (Ternate dan Tidore).
Proyek kerdilisasi kaum kolonialis Eropa, yang dalam hal ini dilancarkan oleh Portugis dan Belanda dimulai dengan gerakan-gerakan penguasaan kota-kota pesisir secara ekonomi, politik dan militer, kemudian diarahkan dan dipojokkan ke wilayah-wilayah pedalaman. Namun, perang kolonialisme ini mendapat perlawanan yang sengit dari koalisi kerajaan-kerajaan pesisir, akan tetapi dengan segala kecerdikan dan kepicikannya, akhirnya perang ini dimenangkan oleh kerajaan pedalaman, yaitu Mataram yang menjadi kuda tunggangan kaum kolonial.
Kekalahan kerajaan pesisir tersebut telah berhasil menciptakan mesyarakat Nusantara menjadi kerdil, karena kebudayaan pesisir terkikis habis menjadi masyarakat agraris. Lebih dari itu, perubahan kekuasaan laut menjadi kekuatan darat yang berkerut ke pedalaman telah menciptakan kecemerlangan cendikia menjadi kedunguan penalaran, sementara persatuan dan kesatuan berubah menjadi perpecahan yang memandulkan segala kegiatan. (Ishak, 1995).
Oleh karena itu, benar sekali ungkapan Pramoedya Ananta toer bahwasa Indonesia tidak akan habis-habisnya dirundung masalah disintegrasi dan tersendatnya perkembangan. Hal ini disebabkan oleh pimpinan-pimpinan nasional tidak memiliki jiwa dan semangat keberanian, melainkan lebih mengadopsi sifat masyarakat agraris yang dangkal dan penuh dengan eufimismenya.
Dengan demikian, sekenario besar kaum kolonialis Eropa dalam menciptakan masyarakat Nusantara menjadi masyarakat pedalaman telah berhasil. Namun ironisnya, kenyataan ini baru disadari setelah 54 tahun Indonesia merdeka, yaitu dengan dibentuknya lokomotif Departemen Kelautan dan Perikanan untuk menggerakakan gerbong yang selama ini "ditidurkan", kelautan dan perikanan. Akan tetapi muncul pertanyaan, akankah kelautan kembali bangkit dengan hanya digerakan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) mengingat kompleksnya permasalahan yang ada di dunia kelautan Indonesia?
Membalikkan Peradaban

Hingga saat ini, kehadiran DKP masih belum bisa mengangkat perekonomian nasional. Lebih dari itu, DKP masih berpotensi ria dengan kekayaan alam yang melimpah, seperti selalu terungkapnya luas perairan laut 5,8 juta km2, panjang pantai 81.000 km, potensi ikan 62,5 juta ton/tahun dan lain sebagainya. Memang pernyataan-pernyataan politis seperti itu kadang diperlukan, namun yang lebih diperlukan lagi adalah bagaimana menuntaskan permasalahan-permasalahan klasik yang selama ini menjangkit di tubuh kelautan dan perikanan, seperti kemiskinan, kebodohan, ekonomi biaya tinggi, dan lain sebagainya. Untuk itu, hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah dibuatkannya kebijakan nasional yang bertumpu pada pembangunan kelautan.
Dua bulan yang lalu secercah harapan masyarakat Indonesia akan kebangkitan bangsa bahari tertuju pada Gerakan Pembangunan Kelautan dan Perikanan (Gerbang Mina Bahari) yang dicanangkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 11 Oktober 2003 di Provinsi Gorontalo. Kebijakan tersebut diharapkan menjadi "gerakan kesejahteraan nasional", khususnya bagi masyarakat nelayan. Namun sekali lagi, kebijakan tersebut akan bersifat absurd apabila hanya satu institusi negara yang menggerakannya. Dengan kata lain, kebijakan yang diperlukan adalah bersifat multi sektoral dan lintas departemen.
Dengan meminjam pemikiran Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Prof Tridoyo Kusumastanto tentang "Ocean Policy", sebenarnya bangsa Indonesia dapat keluar dari krisis yang berkepanjangan ini. Hal tersebut dikarenakan Ocean Policy dapat dijadikan sebagai payung besar dalam mewadahi seluruh kepentingan stakeholder yang mempunyai perhatian terhadap pembangunan sektor kelautan, mengingat pembangunan sektor ini bersifat multi sektoral dan lintas departemen, seperti perikanan, pertambangan minyak dan gas, industri maritim, jasa angkutan laut dan penunjang, pariwisata bahari, bangunan laut dan jasa kelautan lainnya.
* * *
Dengan berkaca pada cermin yang jernih, yaitu sejarah, maka kebijakan pembangunan Indonesia ke depan harus berbasiskan pada pesisir dan laut, maritime orientation. Namun demikian, karena pembangunan maritim bersifat multi sektoral dan lintas departemen serta lingkage, maka diperlukan kerjasama antarinstitusi negara yang dipayungi oleh kebijakan nasional, yaitu ocean policy, sehingga egoisme dan friksi antarsektor yang kerap muncul di masa lalu dapat dieliminir. Harapan pembangunan kelautan dan perikanan menjadi prime mover perekonomian nasional, sebagaimana yang terjadi di negara-negara maritim lainnya, semoga dapat diwujudkan, sehingga manpu mengangkat harkat dan mertabat bangsa Indonesia yang selama ini terpuruk. ***
(Penulis adalah staf peneliti Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Institut Pertanian Bogor - PKSPL IPB).

KOMPAS
Rabu, 05 Desember 2007
 
 
Kejayaan Maritim Indonesia
 
 
Laksamana TNI Sumardjono
 
Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudra....
 
Penggalan syair lagu itu mengingatkan kebesaran nusantara di masa lalu yang
kini hilang. Namun, "Betulkah nenek moyang kita pelaut? Betulkah kita ini
bangsa bahari? Betulkah karakter bangsa kita berwawasan maritim?"
 
Sebagai bangsa bahari, negeri ini seharusnya mempunyai visi kelautan,
direfleksikan dalam pembangunan berwawasan bahari, termasuk menguatkan armada
laut (niaga dan militer).
 
Zaman keemasan
 
Menengok masa keemasan nusantara, sejak abad ke-9 Masehi, bangsa Indonesia
telah berlayar jauh menggunakan kapal bercadik. Mereka ke utara mengarungi
lautan, ke barat memotong Lautan Hindia hingga Madagaskar, ke timur hingga
Pulau Paskah. Dengan kian ramainya arus perdagangan melalui laut, mendorong
munculnya kerajaan-kerajaan di nusantara yang bercorak maritim dan memiliki
armada laut yang besar.
 
Kerajaan maritim terbesar di nusantara diawali Kerajaan Sriwijaya (tahun
683-1030 M). Petualang Tiongkok, I Tsing, mencatat, Shih Li Fo Shih (Sriwijaya)
adalah kerajaan besar yang mempunyai benteng di Kotaraja, armada lautnya amat
kuat. Guna memperkuat armada dalam mengamankan lalu lintas perdagangan melalui
laut, Sriwijaya memanfaatkan sumber daya manusia yang tersebar di seluruh
wilayah kekuasaannya, yang kini disebut "kekuatan pengganda".
 
Runtuhnya Sriwijaya disusul naiknya Kerajaan Majapahit (1293-1478 M) yang
semula agraris. Majapahit lalu berkembang menjadi kerajaan maritim setelah
Gajah Mada menjadi mahapatih. Dengan Sumpah Palapa, Gajah Mada bercita-cita
menyatukan nusantara dan diangkatlah Laksamana Nala sebagai Jaladimantri yang
bertugas memimpin kekuatan laut Kerajaan Majapahit. Dengan armada laut yang
kuat, kekuasaan Majapahit amat luas hingga keluar nusantara.
 
Kejatuhan Majapahit diikuti munculnya Kerajaan Demak. Kebesaran Kerajaan Demak
jarang diberitakan. Kekuatan maritim Kerajaan Demak dibuktikan dengan mengirim
armada laut sebanyak 100 buah kapal dengan 10.000 prajurit menyerang Portugis
di Malaka. Pemimpin armada itu adalah Pati Unus yang bergelar Pangeran Sabrang
Lor. Meski berteknologi sederhana, Demak mampu mengerahkan pasukan dan
perbekalan dari utara Pulau Jawa menuju semenanjung Malaka.
 
Sejarah itu menggambarkan kehebatan armada niaga, keandalan manajemen
transportasi laut, dan armada militer yang mumpuni dari beberapa kerajaan di
nusantara yang mampu menyatukan wilayah luas dan disegani bangsa lain. Dengan
armada niaga yang besar, kerajaan bersosialisasi dan membawa hasil alam sebagai
komoditas perdagangan ke negeri lain. Dan untuk menjaga keamanan, kerajaan
memiliki armada laut yang kuat.
 
Sayang, beberapa kerajaan besar itu jatuh bukan karena serangan lawan, tetapi
karena "perang saudara". Kondisi itu dimanfaatkan kekuatan asing untuk
menguasai wilayah ini. Dengan mempelajari kondisi kerajaan dan kultur penguasa
di nusantara, kekuatan asing mampu menduduki negeri ini dengan menjauhkan
penghidupan masyarakat dari laut. Masyarakat digiring untuk kembali menjadi
petani. Lama-kelaman armada laut kerajaan menjadi kecil. Kesempatan ini
dimanfaatkan kekuatan asing, seperti Portugis, Inggris, dan VOC, untuk ganti
menguasai laut nusantara. Dengan terdesaknya raja-raja ke pedalaman dan
dikuasainya berbagai pelabuhan oleh asing, sejak saat itu paradigma maritim
kita diubah penjajah, menjadi bangsa agraris.
 
Bangsa pelaut
 
Sejarah menyakitkan itu dibaca para pejuang kemerdekaan Indonesia. Untuk itu,
ketika bangsa ini baru mulai hidup di alam kemerdekaan, para pemimpin kita
sadar atas kondisi geografis dan kejayaan masa lampau sebagai bangsa bahari.
 
Saat membuka Institut Angkatan Laut (IAL) tahun 1953 di Surabaya, Presiden
Soekarno berpesan, ".usahakan penyempurnaan keadaan kita ini dengan menggunakan
kesempatan yang diberikan oleh kemerdekaan. Usahakan agar kita menjadi bangsa
pelaut kembali. Ya..., bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar
menjadi jongos di kapal... bukan! tetapi bangsa pelaut dalam arti cakrawati
samudra. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang
mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi
irama gelombang lautan itu sendiri ".
 
Hal ini dibuktikan Soekarno. Tahun 1960-an kekuatan Angkatan Laut Indonesia
adalah yang terbesar di Asia Tenggara dengan komposisi 234 kapal perang terdiri
dari sebuah kapal penjelajah (cruiser), 12 kapal selam, 7 kapal perusak
(destroyer), 7 fregat, dan beberapa jenis kapal perang lain. Dalam usia
kemerdekaan yang masih muda, para pemimpin telah memfokuskan kekuatan militer
berdasarkan konstelasi geografis. Dengan kekuatan militer, bangsa ini mampu
mengusir Belanda yang saat itu masih mempertahankan Irian Barat.
 
Mengapa Belanda meninggalkan Irian Barat tanpa pertempuran? Terlepas dari upaya
diplomasi politik saat itu, jawaban kuatnya adalah kuat dan solidnya TNI,
terutama kekuatan lautnya. Besarnya armada laut dengan persenjataan canggih
saat itu, mampu mengangkut pasukan dalam jumlah besar, siap melaksanakan
pertempuran laut. Maka, saat itu, Indonesia memiliki posisi tawar yang tinggi.
 
Seiring perjalanan waktu dan akibat kondisi ekonomi yang berbeda serta
perhatian pada maritim berkurang membuat kekuatan laut kita mencapai
antiklimaks. Peralatan alutsista rontok, menjadi besi tua. Armada niaga kita
pun bernasib sama. Meski tak laik, dipaksa melaut sehingga kadang terjadi
kecelakaan.
 
Menuju AL yang kuat
 
Kini keadaan relatif membaik. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang
Pertahanan Negara, terutama Pasal 3 Ayat (2) menyatakan, pertahanan negara
disusun dengan memerhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara
kepulauan. Artinya, pemimpin Indonesia menyadari, laut berikut segala aktivitas
di dalamnya dapat menjadi tumpuan masa depan bangsa. Bagi TNI AL, ini merupakan
tantangan, menjaga keamanan perairan dari gangguan ataupun ancaman kedaulatan.
Untuk itu, dibutuhkan Angkatan Laut yang kuat dan upaya menuju ke arah itu
telah dimulai.
 
Saat ini telah dibeli empat korvet kelas Sigma dari Belanda, sebuah kapal sudah
tiba di Tanah Air, KRI Diponegoro-365, sisanya masih diselesaikan. Dari Korea
juga telah datang dua kapal LPD, disusul segera dua lainnya yang masih
dibangun. Meski anggaran menjadi kendala, dengan perencanaan yang baik
mudah-mudahan kapal-kapal lain akan menyusul memperkuat kekuatan penjaga laut
kita. Kita berharap perhatian dalam aspek maritim tidak hanya tertumpu pada
pembangunan kekuatan angkatan laut, tetapi mampu mengembalikan Indonesia
sebagai negara bahari.
 
Bangsa yang memiliki karakter bahari tidak harus diartikan bangsa yang sebagian
besar masyarakatnya adalah nelayan, tetapi bangsa yang menyadari kehidupan masa
depannya bergantung pada lautan. Intinya, selalu menoleh, menggali, dan
memanfaatkan laut sebagai tulang punggung bangsa dan negara.
 
Laksamana Sumardjono Kepala Staf TNI Angkatan Laut
 
 


Oleh : Arif Satria
Sejarah telah mencatat kita pernah besar sebagai bangsa bahari. Identitas sebagai bangsa bahari tentu tidak saja ditentukan oleh fakta geografis bahwa dua pertiga wilayah kita adalah laut, tetapi juga karena ternyata fakta geografis tersebut berimplikasi pada (a) fakta geopolitis, (b) fakta sosial ekonomis, dan (c) fakta ekologis. Ini perlu dipertegas mengingat seolah kini laut hanyalah merupakan fakta geografis semata. Kita selalu bangga akan luasnya laut kita. Padahal “ruh” laut yang menyimpan kekuatan geopolitis, sosial-ekonomis, dan ekologis seolah telah tercerabut.
Pertama, secara geopolitis, wilayah laut kita masih rentan seiring lepasnya Sipadan-Ligitan, tak jelasnya status blok Ambalat, Celah Timor, Pulau Pasir, dan seterusnya yang mengancam keutuhan wilayah kita. Kita berbatasan dengan 10 negara, dan sebagian besar perundingan wilayah perbatasan belum tuntas, yang tentu bisa menjadi bom waktu.
Kedua, secara sosial ekonomis, aktivitas di laut masih dikuasai asing, dan seolah kita adalah tamu di rumah sendiri. Kapal asing masih terus mengeruk sumberdaya laut baik secara legal maupun ilegal. Diduga ada 7000 kapal asing yang beroperasi di wilayah laut kita, meski sekarang sudah mulai berkurang berkat kebijakan pemerintah. Kapal asing pula masih terus mendominasi aktivitas pelayaran untuk ekspor-impor, yang pangsa muatannya masih sekitar 90%. Tentu, sebuah ironi besar bahwa potensi sumberdaya hayati dan non-hayati yang cukup besar, namun kemiskinan masyarakat pesisir masih terus terjadi. Secara budaya, anak-anak sudah kehilangan semangat mencintai laut. Budaya cinta laut dapat direfleksikan dengan pemahaman sejak dini tentang dunia laut, kemampuan berenang, serta budaya makan ikan. Di Jepang, berenang merupakan kemampuan dasar yang harus dikuasai anak SD. Berenang menyeberang pulau saat musim panas merupakan hal yang biasa bagi mereka. Pendidikan kebaharian mereka patut ditiru. Pemaknaan budaya bahari lebih jauh dapat dielaborasi menjadi pola sikap: kerja keras, terbuka, suka tantangan, egaliter, berani mengambil resiko. Meminjam istilah Damanhuri (1996), budaya bahari dengan sifat outward looking dan sejumlah pola sikap mental tersebut merupakan basis bagi etos kewirausahaan. Sementara itu, konsumsi ikan perkapita kita saat ini masih sekitar 23 kg/kapita/tahun, padahal Malaysia sudah mencapai 57 kg/kapita/tahun dan Philippines serta Thailand masing-masing 29 dan 28 kg/kapita/tahun. Budaya makan ikan kita masih rendah.
Ketiga, secara ekologis, kita rela “menjual” harga diri bangsa ketika harus mengeruk pasir laut yang merusak lingkungan hanya untuk memenuhi kepentingan perluasan wilayah Singapura yang justru diduga mengancam kita secara geopolitis. Aktivitas daratan yang menyebabkan kerusakan lingkungan laut masih sulit diatasi, baik oleh para pemodal besar (kehutanan, pencemaran industri, dsb) maupun nelayan kecil yang terus mengebom ikan.
Lemahnya kita pada ketiga dimensi kelautan tersebut melemahkan jati diri kita sebagai bangsa bahari. Sehingga, upaya menemukan kembali jati diri sebagai bangsa bahari dapat dilakukan melalui reinventing terhadap tiga dimensi “ruh” kelautan yang telah hilang tersebut dengan satu visi besar. Visi besar tersebut punya tiga hirarki. Pertama, hirarki internasional, yang berisi upaya penguatan posisi dan kedaulatan kita di laut dalam berhubungan dengan dunia internasional. Secara geopolitis, isu batas wilayah mesti segera dituntaskan. Menurut PP No 38 Tahun 2002, ada 92 pulau kecil terluar yang memiliki titik pangkal dan berbatasan dengan negara tetangga. Dan dari 92 pulau kecil tersebut ada 67 yang berbatasan langsung dengan 10 negara lain. Upaya penggalian aspek sejarah dan penguatan hukum internasional sangat penting, dan diikuti langkah proaktif pembangunan 92 pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan tersebut. Dimensi geopolitis ini berimplikasi pada dimensi ekonomi karena pada akhirnya menyangkut hak penguasaan dan pengelolaan sumberdaya hayati dan non-hayati di laut. Selanjutnya, secara ekonomi perlu reposisi dalam perdagangan internasional hasil laut dan menyiasati forum WTO. Kalau dengan Vietnam saja kita sudah terancam, apalagi dengan Thailand dan Cina dalam perdagangan ikan dunia. Karena itu, perbaikan mutu produk dan strategi perdagangan adalah kuncinya. Dulu kita telah berjaya dalam perdagangan internasional, yang kini mesti kita kembalikan lagi. Secara ekologi-politik, keterlibatan kita dalam berbagai Regional Fisheries Management Organization (RFMO) yang mengelola sumberdaya perikanan regional seperti di samudera India, Pasifik, dan bahkan Atlantik menjadi penting agar kita tak dituduh sebagai penungang bebas (free rider).
Kedua, hirarki nasional, yang terkait dengan desain pengelolaan (ocean governance) dan pemanfaatan sumberdaya laut nusantara (ocean development). Desain pengelolaan menuntut hadirnya National Oceal Plan yang merupakan payung kebijakan kelautan yang mencoba mensinergikan berbagai kegiatan sosial-ekonomi di laut, mengingat secara ekonomi laut adalah multiguna (multiple-use): perikanan, transportasi, pertambangan, wisata bahari, dan industri maritim. Tentu prinsip pengelolaannya mengacu pada keberlanjutan secara ekonomi, sosial, dan ekologi, serta melalui proses institusionalisasi yang desentralistik. Sementara itu desain pemanfaatan berorientasi pada penguatan kita sebagai tuan rumah di laut kita sendiri dalam rangka memakmurkan bangsa ini. Pemberdayaan armada pelayaran dan perikanan nasional mesti menggantikan peran asing melalui tahapan yang jelas. Kebijakan pencabutan ijin kapal ikan asing kecuali bekerja sama dalam membangun industri pengolahan dalam negeri merupakan langkah yang tepat dan merupakan satu tahapan penting dalam mengurangi peran kapal asing di perikanan. Begitu pula pengembangan budidaya laut, bioteknologi, energi (energi gelombang, pasang surut, angin, dan Ocean Thermal Energy Convertion) dapat menjadi terobosan baru dalam meningkatkan nilai ekonomi sumberdaya laut.
Ketiga, hirarki lokal diarahkan pada penguatan peran serta masyarakat untuk mengimbangi peran negara (state) dan pasar (market). Nelayan kita yang kebanyakan miskin telah tercerabut hak-haknya untuk ikut mengelola laut (management right), dan baru diberi hak akses (access right) dan hak menangkap (withdrawal right) saja. Ini seiring trend di dunia bahwa yang sedang giat-giatnya mengupayakan penguatan institusi lokal dalam pengelolaan laut (pesisir). Ini berangkat dari asumsi bahwa laut tidak semata merupakan sebuah sistem ekologi, tetapi juga sistem sosial. Karena itu, pengembangan kelautan dengan memperhatikan sistem ekologi-sosial mereka yang khas menjadi penting. Kuatnya institusi lokal di pesisir merupakan pilar bangsa bahari. Bila mereka berdaya, aturan lokal mereka bisa melengkapi kekuatan hukum formal, mereka bisa menjadi pengawas laut yang efektif, menjadi pengelola perikanan lokal karena didukung pengetahuan lokal (traditional ecological knowledge), serta pendorong tumbuhnya ekonomi pesisir.
Dengan ketiga hirarki visi kelautan tersebut, upaya reinventing Indonesia sebagaimana pernah digagas Jacob Oetama bukanlah hal yang mustahil. Tentu syaratnya adalah bahwa visi besar tersebut merupakan visi bersama antara pemerintah, pasar, dan masyarakat. Sehingga kekuatan peran ketiganya juga mesti seimbang, jangan sampai timpang seperti sekarang ini. Jangan sampai masyarakat terus jadi korban, seperti kenaikan harga BBM lalu tanpa antisipasi yang tepat yang menyebabkan nelayan makin marjinal. Kasus BBM ini indikator yang paling mudah betapa memang sektor kelautan dan perikanan belum dilirik: satu kondisi yang bisa mengancam upaya “reinventing Indonesia“.
 
 
 
 
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut